Dong…dong…dong..dong..x11
Suara ini akan kita dengarkan ketika jarum jam dinding di rumah anda sudah menunjukkan pukul 23.00. Ini bukanlah suara penjual nasi goreng atau mie ayam seperti di perkotaan. Namun ini adalah bunyi kentongan yang senantiasa dipukul oleh para penjaga pos ronda. Mereka akan memukul kentongan setiap jamnya sesuai dengan jumlah bilangan jam itu. Biasanya kentongan mulai dipukul jam 23.00 sampai dengan 03.00.
Mungkin di kampung-kampung pedesaan, masih sering kita jumpai beberapa orang melakukan ronda malam. Mereka berkeliling kampung sambil membawa kentongan untuk memastikan bahwa di kampung tidak ada maling, atau barangkali hanya mengingatkan warga yang belum mengunci pintu. Pesan yang paling penting yang disampaikan para petugas ronda adalah agar masyarakat senantiasa waspada terhadap berbagai hal yang tidak diinginkan.
Poskamling
Kata “ronda” ini menurut Vicente L. Rafael dan Rudolf Mrazek dalamFigures of Criminality in Indonesia, the Philippines, and Colonial Vietnam, merupakan institusi prakolonial. Kentongan yang merupakan perangkat utama pada saat ronda. Menurutnya, kentongan digunakan untuk mengumpulkan masyarakat dan memberikan tanda bahaya sudah berabad-abad yang lalu. Ini adalah bukti yang menguatkan pendapat mereka bahwa ronda adalah institusi yang ada sejak jaman prakolonial.
Namun pada jaman kolonial pos-pos jaga berfungsi sebagai perpanjangan dari menara-menara dari kekuasaan kolonial untuk mengekang gerak pribumi. Fungsinya lebih mirip pos pengawasan terhadap pribumi yang melewati daerah tertentu. Hal serupa juga terjadi ketika Jepang berkuasa di Indonesia.
Pada saat Jepang masih berkuasa di bumi pertiwi ini, ronda menjadi salah satu tugas pokok anggota keibodan, organisasi semi militer yang bertugas membantu polisi seperti hansip. Tugas mereka selain menjamin keamanan, mereka harus menjaga dan mencari penyamun, pencuri, penjahat, serta melakukan jaga malam dan ronda kampung. Namun di beberapa wilayah tertentu, tidak saja hanya menggunakan keibodan, namun juga melibatkan masyarakat sipil. Sistem pengamanan seperti ini terus dijalankan sampai dengan Jepang hengkang dari Indonesia setelah kalah dari Sekutu.
Pada masa pendudukan Jepang, Pos Ronda digunakan oleh keibodan untuk mengawasi warga pribumi yang berbuat makar atau memberontak Jepang. Paska kemerdekaan, pos-pos ronda milik Jepang ini digunakan oleh orang-orang pribumi sebagai pos penjagaan dan mengawasi orang-orang Jepang dan lainnya yang dirasa membahayakan lingkungan sekitar.
Sistem keamanan lingkungan (siskamling) baru muncul 1981. Sistem keamanan ini muncul dilatarbelakangi oleh kondisi politik dalam negeri yang lagi kacau, mulai dari gejolak politik hingga kriminalitas yang semakin meningkat. Adalah Awaloedin Djamil seorang Kepala Polisi pada saat itu menggagas bentuk pengamanan swakarsa. Pengamanan ini dilakukan secara swadaya oleh masyarakat desa. Sedangkan dalam sektor industry juga harus ada pengamanan dalam bentuk satpam.
Siskamling yang dilakukan secara swakarsa ini menempatkan warga sipil sebagai pelaksana. Mereka melakukan ronda atau jaga secara bergiliran antara warga satu dengan yang lainnya. Biasanya mereka membuat jadwal yang dipatuhi secara bersama-sama. Semenjak itulah dibentu poskamling (Pos Keamanan Lingkungan) seperti yang kita tahu sekarang ini. Dalam bahasa Jawa intilah Poskamling ini lazim disebut dengan “gerdon” yang berarti tempat untuk berjaga malam.
Menurut Antropolog Joshua Barker dalam “State of Fear: Controlling The Criminal Contagion In Suharto’s New Order”, yang dimuat dalam jurnal Indonesia No 66, Oktober 1998, siskamling pada jaman orde baru tidak lain hanya menjadi perpanjangan tangan pengawasan polisi ke dalam lingkup lokal. Kondisi siskamling tak ayal seperti pada jaman Jepang. Pada jaman orde baru Poskamling digunakan untuk mengawasi para pemuda atau kelompok tertentu yang akan melakukan makar terhadap pemerintah.
Apa yang diamati oleh Josua Barker ini setidaknya memiliki kemiripan dengan apa yang ditemukan oleh Abidin Kusno dalam bukunya yang berjudul Guardian of Memories: Gardu in Urban Java. menurutnya Gardu mengalami perubahan fungsi lagi di era presiden Soeharto berkuasa. Gardu lagi-lagi menjadi perpanjangan tangan kekuasaan. Keberadaan gardu mengukuhkan bentuk militerisme dalam kemasan yang lebih sederhana dan terasa merakyat. Soeharto menerapkan model pertahanan semesta yang berfungsi sebagai pendukung legitimasi kekuasaaannya dengan dalih Sistem Keamanan Lingkungan. Dengan demikian, berbagai kegiatan yang sekiranya membahayakan kekuasaan orde baru bisa terekam dengan jelas dan bisa segera ditindaklanjuti.
Apa yang bisa kita petik dari ronda ini sebenarnya? Yang paling penting dari ronda adalah desa kita menjadi aman dan tentram. Ronda yang dilakukan pada malam hari ini menjadi sarana yang cukup efektif untuk menjaga hubungan antarwarga, meningkatkan solidaritas, dan tentu saja menjaga keamanan lingkungan.
Pos ronda yang ada di sekeliling kita mungkin kini hanya tinggal tempatnya saja yang mungkin juga tidak terawat. Sesekali orang berkumpul hanya untuk bermain gaple, remi atau sejenisnya. Sementara pada saat kampanye legislatif sampai pilihan lurah pos ronda berubah bentuk menjadi posko partai ataupun posko pasangan calon. Fungsinya sudah bergeser jauh dari yang sebelumnya. Namun itulah jaman, senantiasa bergerak terus.
Sistem keamanan dengan model swakarsa sekarang ini sudah mulai tidak laku lagi. Masyarakat tidak memiliki waktu untuk berjaga secara bergiliran seperti dahulu. Karena mungkin terbentur oleh kebutuhan pekerjaan yang tidak pernah mengenal waktu. Orang lebih suka membayar hansip ataupun satpam jika dibandingkan harus ikut menjaga kampungnya sendiri. Padahal tindak kriminal, pencurian dan kejahatan lainnya tidak semakin berkurang. Dengan demikian hansip dan satpam sebenarnya memiliki kontribusi yang besar untuk keamanan dan kenyamanan kita. Terimakasih Bapak hansip dan satpam yang telah mengabdikan diri untuk keamanan dan kenyamanan saya.
Sumber tulisan : http://www.jelajahbudaya dot com
Suara ini akan kita dengarkan ketika jarum jam dinding di rumah anda sudah menunjukkan pukul 23.00. Ini bukanlah suara penjual nasi goreng atau mie ayam seperti di perkotaan. Namun ini adalah bunyi kentongan yang senantiasa dipukul oleh para penjaga pos ronda. Mereka akan memukul kentongan setiap jamnya sesuai dengan jumlah bilangan jam itu. Biasanya kentongan mulai dipukul jam 23.00 sampai dengan 03.00.
Mungkin di kampung-kampung pedesaan, masih sering kita jumpai beberapa orang melakukan ronda malam. Mereka berkeliling kampung sambil membawa kentongan untuk memastikan bahwa di kampung tidak ada maling, atau barangkali hanya mengingatkan warga yang belum mengunci pintu. Pesan yang paling penting yang disampaikan para petugas ronda adalah agar masyarakat senantiasa waspada terhadap berbagai hal yang tidak diinginkan.
Poskamling
Kata “ronda” ini menurut Vicente L. Rafael dan Rudolf Mrazek dalamFigures of Criminality in Indonesia, the Philippines, and Colonial Vietnam, merupakan institusi prakolonial. Kentongan yang merupakan perangkat utama pada saat ronda. Menurutnya, kentongan digunakan untuk mengumpulkan masyarakat dan memberikan tanda bahaya sudah berabad-abad yang lalu. Ini adalah bukti yang menguatkan pendapat mereka bahwa ronda adalah institusi yang ada sejak jaman prakolonial.
Namun pada jaman kolonial pos-pos jaga berfungsi sebagai perpanjangan dari menara-menara dari kekuasaan kolonial untuk mengekang gerak pribumi. Fungsinya lebih mirip pos pengawasan terhadap pribumi yang melewati daerah tertentu. Hal serupa juga terjadi ketika Jepang berkuasa di Indonesia.
Pada saat Jepang masih berkuasa di bumi pertiwi ini, ronda menjadi salah satu tugas pokok anggota keibodan, organisasi semi militer yang bertugas membantu polisi seperti hansip. Tugas mereka selain menjamin keamanan, mereka harus menjaga dan mencari penyamun, pencuri, penjahat, serta melakukan jaga malam dan ronda kampung. Namun di beberapa wilayah tertentu, tidak saja hanya menggunakan keibodan, namun juga melibatkan masyarakat sipil. Sistem pengamanan seperti ini terus dijalankan sampai dengan Jepang hengkang dari Indonesia setelah kalah dari Sekutu.
Pada masa pendudukan Jepang, Pos Ronda digunakan oleh keibodan untuk mengawasi warga pribumi yang berbuat makar atau memberontak Jepang. Paska kemerdekaan, pos-pos ronda milik Jepang ini digunakan oleh orang-orang pribumi sebagai pos penjagaan dan mengawasi orang-orang Jepang dan lainnya yang dirasa membahayakan lingkungan sekitar.
Sistem keamanan lingkungan (siskamling) baru muncul 1981. Sistem keamanan ini muncul dilatarbelakangi oleh kondisi politik dalam negeri yang lagi kacau, mulai dari gejolak politik hingga kriminalitas yang semakin meningkat. Adalah Awaloedin Djamil seorang Kepala Polisi pada saat itu menggagas bentuk pengamanan swakarsa. Pengamanan ini dilakukan secara swadaya oleh masyarakat desa. Sedangkan dalam sektor industry juga harus ada pengamanan dalam bentuk satpam.
Siskamling yang dilakukan secara swakarsa ini menempatkan warga sipil sebagai pelaksana. Mereka melakukan ronda atau jaga secara bergiliran antara warga satu dengan yang lainnya. Biasanya mereka membuat jadwal yang dipatuhi secara bersama-sama. Semenjak itulah dibentu poskamling (Pos Keamanan Lingkungan) seperti yang kita tahu sekarang ini. Dalam bahasa Jawa intilah Poskamling ini lazim disebut dengan “gerdon” yang berarti tempat untuk berjaga malam.
Menurut Antropolog Joshua Barker dalam “State of Fear: Controlling The Criminal Contagion In Suharto’s New Order”, yang dimuat dalam jurnal Indonesia No 66, Oktober 1998, siskamling pada jaman orde baru tidak lain hanya menjadi perpanjangan tangan pengawasan polisi ke dalam lingkup lokal. Kondisi siskamling tak ayal seperti pada jaman Jepang. Pada jaman orde baru Poskamling digunakan untuk mengawasi para pemuda atau kelompok tertentu yang akan melakukan makar terhadap pemerintah.
Apa yang diamati oleh Josua Barker ini setidaknya memiliki kemiripan dengan apa yang ditemukan oleh Abidin Kusno dalam bukunya yang berjudul Guardian of Memories: Gardu in Urban Java. menurutnya Gardu mengalami perubahan fungsi lagi di era presiden Soeharto berkuasa. Gardu lagi-lagi menjadi perpanjangan tangan kekuasaan. Keberadaan gardu mengukuhkan bentuk militerisme dalam kemasan yang lebih sederhana dan terasa merakyat. Soeharto menerapkan model pertahanan semesta yang berfungsi sebagai pendukung legitimasi kekuasaaannya dengan dalih Sistem Keamanan Lingkungan. Dengan demikian, berbagai kegiatan yang sekiranya membahayakan kekuasaan orde baru bisa terekam dengan jelas dan bisa segera ditindaklanjuti.
Apa yang bisa kita petik dari ronda ini sebenarnya? Yang paling penting dari ronda adalah desa kita menjadi aman dan tentram. Ronda yang dilakukan pada malam hari ini menjadi sarana yang cukup efektif untuk menjaga hubungan antarwarga, meningkatkan solidaritas, dan tentu saja menjaga keamanan lingkungan.
Pos ronda yang ada di sekeliling kita mungkin kini hanya tinggal tempatnya saja yang mungkin juga tidak terawat. Sesekali orang berkumpul hanya untuk bermain gaple, remi atau sejenisnya. Sementara pada saat kampanye legislatif sampai pilihan lurah pos ronda berubah bentuk menjadi posko partai ataupun posko pasangan calon. Fungsinya sudah bergeser jauh dari yang sebelumnya. Namun itulah jaman, senantiasa bergerak terus.
Sistem keamanan dengan model swakarsa sekarang ini sudah mulai tidak laku lagi. Masyarakat tidak memiliki waktu untuk berjaga secara bergiliran seperti dahulu. Karena mungkin terbentur oleh kebutuhan pekerjaan yang tidak pernah mengenal waktu. Orang lebih suka membayar hansip ataupun satpam jika dibandingkan harus ikut menjaga kampungnya sendiri. Padahal tindak kriminal, pencurian dan kejahatan lainnya tidak semakin berkurang. Dengan demikian hansip dan satpam sebenarnya memiliki kontribusi yang besar untuk keamanan dan kenyamanan kita. Terimakasih Bapak hansip dan satpam yang telah mengabdikan diri untuk keamanan dan kenyamanan saya.
Sumber tulisan : http://www.jelajahbudaya dot com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar